Indonesia dinobatkan sebagai negara paling “makmur” di dunia, mengalahkan negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris. Temuan ini mengejutkan, mengingat persepsi umum yang mengaitkan kemakmuran semata dengan kekayaan ekonomi.
Studi Kemakmuran Global (Global Flourishing Study) dari Harvard University, yang melibatkan lebih dari 200.000 responden dari 22 negara, mengungkap fakta menarik tentang definisi kemakmuran itu sendiri.
Indonesia Puncaki Indeks Kemakmuran Global
Studi ini menggunakan tujuh variabel kunci untuk mengukur kemakmuran: kesehatan, kebahagiaan, makna hidup, karakter, hubungan sosial, keamanan finansial, dan kesejahteraan spiritual.
Hasilnya menempatkan Indonesia di peringkat teratas dengan skor 8,3, disusul Israel (7,87), Filipina (7,71), Meksiko (7,64), dan Polandia (7,55).
Amerika Serikat berada di peringkat ke-12, sementara Inggris menempati posisi ke-20 dari 22 negara yang disurvei.
Faktor-faktor di Balik Kemakmuran Indonesia
Meskipun bukan negara terkaya, Indonesia unggul dalam hal hubungan sosial dan karakter pro-sosial. Hal ini menunjukkan pentingnya aspek sosial dan komunitas dalam menentukan kemakmuran.
Kekuatan ikatan sosial dan komunitas di Indonesia berkontribusi signifikan terhadap skor kemakmuran yang tinggi.
Studi ini menyoroti bahwa kemakmuran bukanlah semata-mata tentang kekayaan materi, melainkan juga tentang kualitas hidup dan kesejahteraan holistik.
Perbandingan dengan Negara-negara Lain dan Implikasi Studi
Di sisi lain, Jepang, negara dengan tingkat kekayaan dan harapan hidup tinggi, justru berada di peringkat terendah dalam studi ini, dengan skor 5,89.
Responden Jepang cenderung kurang merasakan memiliki teman dekat, menunjukkan adanya potensi ketidakseimbangan antara kemajuan ekonomi dengan kesejahteraan sosial dan emosional.
Para peneliti menekankan bahwa temuan ini menimbulkan pertanyaan penting tentang bagaimana kita mendefinisikan dan mengukur kemajuan suatu bangsa.
Studi ini juga menunjukkan hubungan antara usia dan kemakmuran, dengan responden yang lebih tua cenderung memiliki skor lebih tinggi dibandingkan yang lebih muda.
Temuan ini menantang pandangan konvensional tentang kebahagiaan dan kemakmuran yang seringkali hanya berfokus pada aspek ekonomi.
Para peneliti menyimpulkan bahwa studi ini membuka jalan untuk pemahaman yang lebih komprehensif tentang faktor-faktor yang berkontribusi pada kemakmuran sejati suatu masyarakat. Studi ini juga menggarisbawahi pentingnya keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial-emosional.
Pertanyaan mendalam muncul mengenai bagaimana kita dapat mendorong pembangunan ekonomi tanpa mengorbankan makna hidup, hubungan sosial, dan karakter positif.
Studi ini memberikan perspektif yang berharga bagi para pembuat kebijakan dan masyarakat luas untuk merenungkan definisi kemakmuran dan bagaimana mencapai kesejahteraan yang lebih inklusif dan berkelanjutan.