Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) baru-baru ini menyetujui merger XL Axiata dan Smartfren menjadi XL Smart Sejahtera. Keputusan ini diikuti dengan persyaratan pengembalian satu rentang spektrum 2×7,5 MHz di frekuensi 900 MHz kepada pemerintah. Ini berbeda dari merger sebelumnya yang melibatkan pengembalian spektrum di frekuensi 2,1 GHz.
Pengembalian spektrum 900 MHz ini menarik perhatian karena sejarahnya yang panjang. Pada dekade 90-an, pita selebar 25 MHz di frekuensi ini dialokasikan, dengan 10 MHz diberikan kepada Satelindo (kemudian diakuisisi Indosat), dan sisanya dibagi rata antara Telkomsel dan XL Axiata (masing-masing 7,5 MHz). Spektrum ini tetap bernilai karena masih digunakan jutaan pelanggan untuk layanan 2G dan juga berpotensi untuk layanan 4G LTE.
Layanan 2G masih relevan, terutama bagi pengguna yang membutuhkan layanan suara dasar dengan ponsel terjangkau. Telkomsel memiliki basis pelanggan 2G terbesar, diikuti oleh XL Axiata dan Indosat. Selain pelanggan individual, sektor perbankan juga memanfaatkan frekuensi 900 MHz untuk mesin EDC (electronic data capture). Peningkatan teknologi ke 4G memerlukan keterlibatan perbankan sebagai pemilik infrastruktur EDC.
Ketiadaan 3G di Indonesia karena layanan ini telah dihentikan karena dinilai boros dalam penggunaan spektrum frekuensi. Semua pelanggan 3G telah dimigrasikan ke 4G LTE sebelum awal abad ke-21. Komdigi tidak langsung mengambil alih spektrum 900 MHz dari XL Smart, melainkan menunda pengembaliannya hingga Desember 2026.
Hal ini kontras dengan praktik sebelumnya di mana Kominfo (sebelum berganti nama menjadi Komdigi) aktif melelang frekuensi yang tidak terpakai, dengan pendapatannya masuk sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Direktorat Jenderal terkait di Kominfo mendapatkan bagian dari hasil lelang tersebut. Pada tahun 2024, tidak ada lelang frekuensi, hanya pungutan rutin seperti Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi dan BHP Operator, serta dana Universal Service Obligation (USO) yang mencapai sekitar Rp 24 triliun.
Berbeda dengan tahun 2024 yang relatif minim pendapatan dari lelang frekuensi, tahun ini Komdigi memiliki banyak potensi PNBP. Terdapat spektrum frekuensi yang akan dilelang, diantaranya 80 MHz di 1,4 GHz, 90 MHz di 700 MHz (bekas televisi analog), 160 MHz di 2,6 GHz, dan 1.600 MHz di 26 GHz (untuk layanan 5G).
Internet Murah dan Aksesibilitas
Spektrum frekuensi 1,4 GHz akan difokuskan untuk meningkatkan akses internet, terutama di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) seperti sebagian besar Papua, NTT, dan Kalimantan. Komdigi menargetkan harga internet sekitar Rp 100.000 dengan kecepatan 100 Mbps. Ini merupakan janji yang menarik, mengingat kecepatan tinggi dengan harga terjangkau, bahkan dibandingkan dengan layanan internet di kota-kota besar.
Implementasi rencana ini akan sangat berdampak pada pemerataan akses internet di Indonesia. Daerah-daerah terpencil yang selama ini kesulitan mengakses internet kecepatan tinggi akan mendapatkan kesempatan untuk terhubung ke dunia digital. Suksesnya proyek ini akan bergantung pada beberapa faktor, termasuk infrastruktur pendukung, kerjasama dengan penyedia layanan internet lokal, dan regulasi yang tepat.
Selain itu, perlu adanya pengawasan yang ketat agar harga internet tetap terjangkau dan kecepatan yang dijanjikan benar-benar terwujud. Transparansi dalam pengelolaan spektrum frekuensi juga penting untuk memastikan bahwa alokasi sumber daya ini digunakan secara efisien dan efektif untuk kepentingan masyarakat luas.
Dengan demikian, keputusan Komdigi untuk mengalokasikan spektrum 1,4 GHz untuk internet murah di daerah 3T merupakan langkah strategis yang dapat mempercepat transformasi digital di Indonesia. Namun, keberhasilannya memerlukan perencanaan yang matang, pelaksanaan yang efektif, dan pengawasan yang berkelanjutan.